Etika Jadi Bagian Terpenting dalam Teknologi Kecerdasan Buatan (AI)

 |   vishnum

JAKARTA, 23 April 2018 – Pengembangan kecerdasan buatan (AI) bergerak semakin cepat dan mengalami kemajuan pesat dalam setiap bidang kehidupan manusia – mulai dari perawatan kesehatan, pendidikan, hingga kontrol iklim dan hasil panen. Dengan menggabungkan AI dengan kecerdasan alami manusia, potensi individu dapat menjadi lebih maksimal dan memungkinkan pencapaian yang luar biasa. AI juga merupakan salah satu bagian terpenting dalam agenda nasional “Making Indonesia 4.0”, yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada minggu lalu. Revolusi Industri 4.0 diharapkan dapat menghasilkan transformasi yang pesat dan menyeluruh. Dengan demikian, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, harus bersiap untuk itu.

Presiden Joko Widodo sangat antusias dengan roadmap strategi implementasi Revolusi Industri 4.0 dan optimis bahwa transformasi di Indonesia akan mengarah kepada pembukaan banyak lapangan pekerjaan, dibandingkan menghilangkan. Kelima teknologi utama yang akan mendukung implementasi Industri 4.0 adalah Internet of Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, robot dan teknologi sensor, dan teknologi pencetakan 3D. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga melihat implementasi Industri 4.0 sebagai peluang bagi Indonesia untuk masuk ke dalam jajaran sepuluh besar ekonomi global pada tahun 2030, dengan akan adanya peningkatan ekspor. Lebih lanjut, Presiden Joko Widodo juga menekankan akan pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang terbagi rata untuk semua lapisan masyarakat.

Ini membuktikan bahwa kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi untuk membantu masyarakat dalam mengatasi beberapa tantangan-tantangan yang paling menakutkan. Tetapi, potensi ini hanya dapat dimaksimalkan jika proses pengumpulkan, penyatuan, dan pembagian data dilakukan dalam skala besar. Namun, hal ini kemudian menimbulkan masalah etika seputar akses universal, keamanan, privasi, transparansi, dan sebagainya. Sampai batas tertentu, AI telah menjalin hubungan yang pernah kita miliki dengan teknologi, hingga akhirnya tingkat kepercayaan yang kita miliki di dalamnya perlu dikaji ulang.

“Selain itu di tingkat sosial, karena AI terus meningkatkan proses pengambilan keputusan kita, bagaimana kita dapat memastikan bahwa AI dapat memperlakukan semua orang dengan adil? Dan bagaimana kita dapat memastikan setiap orang dan organisasi untuk tetap bertanggung jawab atas sistem yang digerakkan oleh AI, yang tidak hanya menjadi lebih luas, tetapi juga lebih cerdas dan kuat? Ini adalah beberapa pertanyaan kunci yang harus direnungkan, dianalisis, dan diuraikan oleh setiap individu, pelaku bisnis dan pemerintah melihat perkembangan dan proliferasi AI yang semakin cepat,” jelas Haris Izmee, President Director Microsoft Indonesia.

Microsoft percaya bahwa untuk memaksimalkan potensi teknologi AI, semua pihak harus membangun landasan kepercayaan yang kuat. Pengguna tidak akan menggunakan solusi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI-enabled solution) jika mereka tidak percaya bahwa solusi-solusi tersebut memenuhi standar tertinggi untuk keamanan, privasi dan keselamatan. Untuk merealisasikan manfaat penuh AI, semua pihak perlu bekerja sama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dan menciptakan sistem yang dapat dipercaya oleh masyarakat.

Pada akhirnya, agar AI dapat dipercaya, Microsoft yakin bahwa AI tidak hanya harus transparan, aman dan inklusif tetapi juga mempertahankan tingkat tertinggi perlindungan privasi. Microsoft telah menyusun enam prinsip yang kami percaya dalam menjadi jantung pengembangan dan penyebaran solusi yang didukung oleh AI:

  1. Privasi dan keamanan: Seperti teknologi awan lainnya, sistem AI harus mematuhi undang-undang privasi yang mengatur tentang pengumpulan, penggunaan dan penyimpanan data, dan memastikan bahwa informasi pribadi yang digunakan sesuai dengan standar privasi dan dilindungi dari penyalahgunaan atau pencurian.
  2. Transparansi: Karena AI semakin memengaruhi kehidupan setiap orang, kita harus memberikan informasi kontekstual tentang bagaimana sistem AI beroperasi sehingga masyarakat dapat memahami bagaimana keputusan dibuat dan lebih mudah dalam mengidentifikasi potensi bias, kesalahan, dan hasil yang tidak diinginkan.
  3. Keadilan: Ketika sistem AI membuat keputusan tentang perawatan medis atau pekerjaan, misalnya, mereka harus membuat rekomendasi yang sama untuk semua orang dengan gejala atau kualifikasi serupa. Untuk memastikan keadilan, kita harus memahami bagaimana bias dapat mempengaruhi sistem AI.
  4. Keandalan: Sistem AI harus dirancang untuk dapat beroperasi dalam parameter yang jelas dan menjalani pengujian yang ketat untuk memastikan bahwa mereka merespon dengan aman dalam situasi yang tidak terduga, dan tidak berevolusi dengan cara yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Masyarakat harus memainkan peran penting dalam membuat keputusan tentang bagaimana dan kapan sistem AI harus dikerahkan.
  5. Inklusivitas: Solusi AI harus dapat mengatasi berbagai kebutuhan dan pengalaman manusia melalui praktik desain yang inklusif dalam mengantisipasi hambatan potensial dalam produk atau lingkungan yang dapat secara tidak sengaja mengucilkan seseorang.
  6. Akuntabilitas: Orang yang mendesain dan memasang sistem AI harus bertanggung jawab bagaimana sistem mereka beroperasi. Norma akuntabilitas untuk AI harus memanfaatkan pengalaman dan praktik dari sektor lain, contohnya seperti privasi dalam perawatan kesehatan. Akuntabilitas juga harus dipatuhi selama proses mendesain sistem dan secara terus-menerus saat sistem beroperasi di dunia.

“Keenam prinsip ini memandu desain produk dan layanan AI Microsoft, dan kami melembagakannya dengan membentuk komite penasihat internal untuk membantu memastikan produk kami akan mematuhi prinsip-prinsip ini,” tambah Haris.

Selain itu, Microsoft sangat terlibat dalam upaya di seluruh komunitas AI dan telah mendirikan Kemitraan dengan AI, yang bertujuan untuk merancang praktik terbaik untuk AI, meningkatkan kesadarannya dan mendiskusikan pengaruhnya pada individu dan masyarakat. Semua inisiatif ini mencerminkan apa yang ingin kita capai – Kepemimpinan AI yang Responsif dan Bertanggung Jawab – dan pendekatan kami didasarkan pada, dan konsisten dengan, misi perusahaan kami untuk memungkinkan setiap orang dan organisasi di planet ini untuk mencapai lebih banyak hal.

“Untuk mengubah Indonesia menjadi negara yang kompetitif, diperlukan pengembangan dan integrasi konektivitas, teknologi, informasi dan komunikasi, dan semua yang harus didasarkan pada kepercayaan dan panduan etika. Pada akhirnya, kami percaya bahwa kemajuan AI dapat mengatasi lebih banyak tantangan yang ada, dan alat dan layanan AI yang kami buat harus membantu masyarakat dan meningkatkan kemampuan kami. Kami optimis tentang masa depan AI dan peluang yang diberikannya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang. Namun untuk memastikan bahwa kita menyadari masa depan pengembangan AI, akan sangat penting bagi pemerintah, bisnis, akademisi dan organisasi sipil untuk bekerja sama dalam menciptakan sistem AI yang dapat dipercaya.” tutup Haris.

Untuk mempelajari lebih lanjut tentang keenam prinsip AI ini, silahkan membaca ‘The Future Computed, Artificial Intelligence and its Role in Society’ oleh Brad Smith, President and Chief Legal Officer; dan Harry Shum, Executive Vice President Microsoft AI and Research Group.

Buku ini menjelaskan bagaimana kita dapat mempersiapkan diri untuk masa depan AI dan tersedia untuk diunduh di sini secara gratis.