Teknologi, Etika dan Hukum: Saling Bergulat dengan Masa Depan Bertenaga AI

 |   vishnum

Teknologi digital terus mengalami kemajuan setiap harinya. Kekuatan komputasi awan dan akumulasi data yang sangat besar telah bersatu. Kecerdasan buatan (AI) telah berkembang di sekitar kita dan perilaku komputer akan semakin menyerupai manusia.

Bagaimana transformasi global ini dapat memengaruhi individu dan masyarakat? Dan, undang-undang apa yang harus diberlakukan untuk memandu kemajuan dalam dunia digital?

Bagi Brad Smith, President Microsoft, hal ini dimulai dengan mengajukan pertanyaan mengenai etika dasarnya “bukan hanya apa yang dapat dilakukan komputer, tetapi juga apa yang harus mereka lakukan.”

“Itu adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan oleh setiap komunitas, dan setiap negara di seluruh dunia, kepada dirinya sendiri dalam dekade selanjutnya,” jelasnya kepada pengacara, pembuat kebijakan, dan akademisi selama melakukan kunjungan ke Singapura pada tanggal 6 April – sebuah kota-negara dengan rekam jejak yang mengesankan dalam merangkul teknologi dan inovasi baru.

Sementara para pengembang, dengan tepat, merasa senang dengan produk-produk inovatif yang mereka ciptakan, “kita tidak bisa lagi melihat masa depan dengan mata yang tidak kritis,” lanjutnya memperingatkan.

Ketika komputer mulai bertindak layaknya manusia, akan ada tantangan sosial baru. “Kami tidak hanya membutuhkan visi teknologi untuk AI, tapi juga visi etika untuk AI,” katanya.

Masalah etika ini seharusnya tidak hanya menjadi fokus dari “insinyur dan perusahaan teknologi … namun, mereka untuk semua orang” karena semakin banyak orang dan organisasi yang menciptakan sistem AI mereka sendiri dengan menggunakan teknologi “blok bangunan” yang dibuat oleh perusahaan seperti Microsoft.

Pada kesempatan konferensi TechLaw.Fest dan Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore, Brad Smith menyatakan bahwa kota-kota pusat di Asia Tenggara merupakan tempat yang tepat untuk melihat masa depan dan menyebarluaskan penciptaan AI.

Microsoft President, Brad Smith (kiri) dan Singapore Senior Minister of State for Communications and Information and Education, Dr. Janil Puthucheary, menjadi pembicara di Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore.

Awal tahun ini Smith dan Harry Shum, Executive Vice President dari Microsoft AI and Research Group, turut menulis The Future Computed: Artificial Intelligence and its role in society. Dan selama kunjungannya ke Singapura, Smith telah mengeksplorasi enam prinsip etika utama untuk dipertimbangkan.

Keadilan. “Apa artinya menciptakan teknologi yang mulai membuat keputusan seperti manusia? Apakah komputer akan menjadi adil? Atau apakah komputer akan mendiskriminasi dengan cara yang oleh pengacara, pemerintah, dan regulator akan dianggap melanggar hukum? … Jika dataset bisa, maka sistem AI juga bisa.” Bagian ini adalah tentang kebutuhan mendesak untuk memperbaiki kurangnya keragaman di sektor teknologi yang saat ini masih didominasi oleh laki-laki.

Keandalan dan Keamanan. Sebagian besar undang-undang dan norma tanggung jawab produk saat ini didasarkan pada dampak teknologi yang diciptakan pada satu abad atau lebih yang lalu. Hal tersebut perlu berevolusi untuk mengatasi peningkatan komputer dan AI. “Orang-orang perlu memahami tidak hanya pada apa yang dapat dilakukan oleh AI, tetapi juga batasan yang dapat dilakukan oleh AI.” Hal ini akan memastikan manusia berada dalam lingkaran dan pengujian yang ekstensif.

Privasi dan Keamanan. “Ketika kami membaca tentang isu-isu dalam berita, dan kami berpikir tentang di mana AI dan teknologi informasi lainnya bergerak, ada beberapa masalah yang lebih penting. Kami harus mulai dengan menerapkan undang-undang privasi yang ada saat ini, tetapi kemudian berpikir tentang kesenjangan dalam aturan hukumnya sehingga orang dapat mengelola data mereka dan kami dapat merancang sistem perlindungan terhadap oknum-oknum jahat dan memastikan penggunaan data yang bertanggung jawab.”

“Kami tidak hanya membutuhkan visi teknologi untuk AI, tapi juga visi etika untuk AI.”

Inklusivitas. “Banyak orang yang memiliki kekurangan. Sistem berbasis AI akan membuat hari mereka menjadi lebih baik ataupun sebaliknya. Itu semua tergantung pada apakah orang yang merancang AI melengkapi sistemnya untuk membaca kebutuhan dalam pikiran mereka.”

Keempat area di atas bergantung pada dua poin berikut:

Transparansi. “Ada doktrin ‘yang dapat dijelaskan’ dengan cepat yang telah muncul di bidang AI. “Dengan kata lain, orang-orang yang membuat sistem AI memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka yang menggunakan atau terkena dampak dari sistem tersebut tahu “bagaimana algoritma sebenarnya bekerja. Dan hal tersebut akan menjadi masalah yang sangat rumit.”

Terakhir, terdapat “prinsip landasan utama” Akuntabilitas. “Ketika kita berpikir tentang memberdayakan komputer untuk membuat lebih banyak keputusan, pada dasarnya kita perlu memastikan bahwa komputer tetap bertanggung jawab kepada masyarakat. Dan, kita perlu memastikan bahwa orang-orang yang mendesain komputer dan sistem ini tetap bertanggung jawab kepada orang lain dan masyarakat sekitarnya.”

Keenam bidang ini saling melengkapi satu sama lain. Namun demikian, “mereka tidak melakukan semua yang akan dibutuhkan oleh dunia.”

“Itulah sebabnya kami mulai menyerukan penciptaan, pada dasarnya, Hippocratic Oath untuk para pengode, seperti yang kami miliki untuk dokter – sebuah prinsip yang mengajak para perancang sistem ini untuk memastikan bahwa AI tidak akan melakukan kesalahan.”

Smith mengatakan bahwa peluncuran bukunya dengan Shum telah memicu isu global. “Kami telah menemukan bahwa hal tersebut membuat siswa di seluruh dunia berkumpul dan merancang versi yang berbeda dari sumpah ini dan itulah yang dibutuhkan dunia untuk melibatkan masyarakat dalam mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai masa depan yang beretika.”

Pada akhirnya, bagaimanapun juga tidak akan cukup bagi dunia untuk hanya menyetujui etika. “Karena jika kita memiliki konsensus tentang etika dan itu merupakan satu-satunya hal yang kita lakukan, maka apa yang akan kita temukan adalah hanya orang beretika yang akan mendesain sistem AI secara etis. Hal itu tidak cukup baik. Kita perlu mengambil prinsip-prinsip ini dan menjadikannya sebagai landasan hukum.

“Hanya dengan menciptakan masa depan di mana hukum AI adalah sama pentingnya satu dekade dari sekarang seperti undang-undang privasi saat ini, akankah kita memastikan bahwa kita hidup di dunia di mana orang dapat memiliki keyakinan bahwa komputer membuat keputusan dengan cara yang etis.”

Sementara itu, berbagai keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan teknologi semakin meluas. “Sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) akan menjadi lebih penting dari sebelumnya. Tetapi karena komputer berperilaku lebih seperti manusia, maka ilmu sosial, humaniora, akan menjadi jauh lebih penting bagi penciptaan teknologi dibandingkan dengan yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.”