Bagaimana Microsoft menjadi Intelligence Driven Organization – dan bagaimana bisnis Anda dapat melakukan hal yang sama

 |   Leentje Chavatte Leentje Chavatte, Microsoft, Data & AI and Digital Transformation

Becoming an Intelligence Driven Organization

Kita sering mendengar kata transformasi digital sebagai buzzword, yang secara nyata sedang di implementasikan sekarang oleh berbagi industri untuk membuka kesempatan tak terbatas bagi organisasi besar dan kecil, di sektor apa pun.

Dalam beberapa tahun terakhir, Microsoft telah mendukung transformasi skala besar di banyak industri, dengan hasil nyata dan terukur.

Raksasa robotika ABB melihat peningkatan kepuasan pelanggan sebesar 20% setelah produk kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) Microsoft Azure membantu mengubah solusi manajemen tenaga kerjanya. Rockwell Automation berhasil menghemat $300.000 setiap hari setelah beralih ke Office 365. Chatbot yang dibuat Microsoft untuk UPS berhasil menjawab pertanyaan di lebih dari 200.000 percakapan pelanggan dalam delapan bulan pertama saja.

Ini adalah beberapa contoh hasil yang dapat direalisasikan ketika data dimanfaatkan dengan kecerdasan buatan. Namun transformasi digital bukanlah pencapaian yang terisolasi. Seluruh organisasi harus mengkalibrasi ulang seputar pengumpulan, analisis, dan penggunaan data. Organisasi bisnis harus bisa belajar dan berkembang.

Ini bukan perbaikan satu kali, tapi sebuah perjalanan panjang. Dan Microsoft pun terus berinovasi dalam perjalanannya.

Cerita Microsoft

Selama empat dekade, Microsoft telah berkembang dari usaha kecil menjadi bisnis senilai $110 miliar dengan lebih dari 130.000 karyawan. Ketika Revolusi Industri ke-4 mulai, Microsoft merasakan kebutuhan untuk bertransformasi digital guna menjadi pemimpin di era digital.

Perusahaan bertekad menjadi organisasi berdasarkan intelijen (Intelligence Driven Organization) dengan data sebagai pusatnya. Tetapi untuk bertransformasi dalam skala yang sangat besar, semua orang dari tingkat bawah sampai CEO harus menyelaraskan dengan visi yang bisa menginspirasi perubahan nyata. Ini berarti semua harus berkomitmen pada cara kerja baru yang akan mengubah setiap proses di Microsoft. Seluruh bisnis perlu bekerja secara berbeda, bereksperimen lebih banyak dan belajar dari kegagalan.

Transformasi adalah keharusan strategis dari awal. Anda dapat mengikuti perjalanan yang ditempuh Microsoft melalui pengumuman publik CEO Satya Nadella. Pada April 2014, Satya berkata: “Anda harus membangun secara mendalam budaya perusahaan yang tumbuh subur dengan data.” Sejak saat itu, semua orang di Microsoft menggunakan cara kerja yang berpusat pada pemanfaatan data untuk lebih memahami dan membuat keputusan.

Pada tahun 2017, Satya menulis buku Hit Refresh, yang membahas transformasi di Microsoft dalam konteks AI dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari – sebuah cerita yang dikemas dalam pernyataannya bahwa “AI adalah aplikasi runtime yang akan membentuk semua yang kita kerjakan ke depan.”

Satu tahun kemudian, dia memperkenalkan ide Tech Intensity atau intensitas teknologi, dimana “setiap organisasi harus memiliki apa yang saya gambarkan sebagai intensitas teknologi … untuk menjadi pengguna cepat teknologi digital … dan untuk membangun kemampuan digital milik mereka sendiri.”

Pola Pikir untuk Mindset Berkembang (Growth Mindset)

Inti dari perjalanan transformasi Microsoft adalah konsep pola pikir untuk berkembang atau growth mindset: sebuah konsep dimana setiap orang dapat berubah, belajar, dan berkembang. Untuk mewujudkan visi ini, Microsoft mengidentifikasi empat atribut yang memungkinkan pola pikir ini mengakar.

Atribut pertama adalah memiliki obsesi pada pemangku kepentingan yang paling penting – pelanggan – dan benar-benar memahami apa yang sangat penting bagi mereka. Kedua, Microsoft ingin menjadi organisasi yang lebih beragam dan inklusif. Ketiga, perusahaan ingin memecah silo-silonya dan memulai operasi sebagai satu kesatuan. Dan akhirnya: untuk membuat perbedaan positif pada kehidupan perusahaan, pelanggan, dan dunia sekitar.

Seperti yang Satya tunjukkan, “sebagai budaya perusahaan, kami bergerak dari sekelompok orang yang mengetahui semuanya menjadi sekelompok orang yang ingin mempelajari semuanya.”

Untuk melacak kemajuan transformasi budaya mereka, Microsoft mulai dengan menanyakan kepada karyawan apakah mereka melihat bukti perubahan positif. Data ini kemudian dievaluasi terhadap atribut yang diukur dari waktu ke waktu. Mereka memasukkan analisis kuantitatif dan kualitatif, dengan kelompok fokus reguler untuk memastikan tren yang muncul dipahami sepenuhnya. Untuk mendorong keterbukaan dan transparansi, semua temuan secara teratur dibagikan dengan manajemen senior.

Berfokus pada intelijen

Penawaran transformasi digital Microsoft bisa di bantu oleh Microsoft Consulting Services (MCS). Dengan daftar panjang klien global dari Toyota hingga Badan Pengungsi PBB, MCS menerapkan teknologi enterprise pada masalah bisnis dengan memahami tujuan, mengidentifikasi risiko, dan memandu transformasi digital.

Ini akan membantu organisasi membuka wawasan yang kuat, memberdayakan tim dengan kelincahan organisasi, dan meningkatkan keamanan sebagai keunggulan kompetitif. Dan MCS akan mendukung di setiap langkah – membantu bisnis memanfaatkan ekosistem Microsoft semaksimal mungkin.

Singkatnya, MCS membantu pelanggannya menjadi organisasi berdasarkan intelijen. Yaitu, organisasi yang memanfaatkan data dikombinasikan dengan teknologi AI guna mendorong pertumbuhan, inovasi, kecepatan ke pasar, dan efisiensi biaya.

Ini adalah pendekatan transformasi digital yang dibentuk tidak hanya oleh kisah Microsoft sendiri, tetapi juga oleh percakapan bertahun-tahun dengan para pemimpin bisnis di seluruh dunia melalui pengalaman transformasi mereka sendiri.

Data dan informasi ini mengarah pada pengembangan model Intelligence Driven Organization (IDO).

Model IDO

Model IDO bukanlah solusi teknologi tapi pendekatan MCS untuk membantu organisasi menavigasi transformasinya sendiri.

Model IDO membantu organisasi mengidentifikasi tujuan bisnis mereka – yaitu, serangkaian hasil bisnis yang ingin di capai dan ke mana mereka ingin pergi di masa depan.

Kemudian, membuat peta jalan yang memungkinkan organisasi merancang proses yang akan menghasilkan tujuan ini – dan membangun kemampuan untuk mendigitalkan proses tersebut sehingga dapat diimplementasikan, dipantau, diukur, dan terus ditingkatkan secara berkala, menciptakan digital feedback loops.

An infinite shape representing the digital feedback loop.

Digital feedback loops

Digital feedback loops dapat dilihat sebagai aliran informasi yang muncul ketika proses bisnis didesain ulang dengan data. Proses ini bisa melihat interaksi dengan pelanggan (misalnya penggunaan situs web, pertanyaan penjualan, atau pembelian produk), operasional back-office, aktivitas karyawan (misalnya penggunaan intranet atau respons terhadap survei) atau bisa juga melibatkan penggunaan produk secara real-time (misalnya data kerusakan aplikasi yang dikirimkan kembali ke para developer). Data-data ini dikumpulkan dan digunakan untuk mengoptimalkan proses dengan aplikasi yang mendukung AI. Yang paling penting, semua informasi dapat dimunculkan ke proses bisnis yang membutuhkannya. Tidak ada silo data.

Digital feedback loop adalah komponen utama untuk menjadi organisasi berdasarkan intelijen – menciptakan fondasi yang mendorong perubahan positif, memungkinkan organisasi menjadi lebih produktif dalam skala besar dan semakin berpusat pada pelanggan.

Empat pilar model IDO 

Model IDO menyediakan kerangka kerja bagi organisasi untuk membuat digital feedback loop menjadi kenyataan. Kerangka ini menyaring semua yang telah dipelajari Microsoft secara global tentang bagaimana memulai proses transformasi digital dan memecahnya menjadi empat pilar utama.

Yang pertama melibatkan pengembangan strategi eksekutif yang mengukuhkan budaya yang didorong oleh intelijen. Pilar kedua memastikan kemampuan teknis yang tepat tersedia, guna menciptakan landasan untuk perjalanan ke depan. Ini menyangkut kemampuan yang akan dibutuhkan, di mana kemampuan ini harus dikembangkan dan kapan. Ketiga adalah melihat eksekusi transformasi sehari-hari, sebelum tahap keempat dan terakhir – di mana organisasi harus membayangkan dan memprioritaskan serangkaian skenario yang mewakili hasil bisnis yang diinginkan.

Membingkai pendekatan transformasi melalui empat pilar ini dapat membantu bisnis mengatasi hambatan utama untuk menjadi organisasi berdasarkan intelijen yang sering disorot para peneliti. Ini termasuk ketersediaan data, kekurangan keterampilan sains data, kesulitan membayangkan kasus penggunaan bisnis yang tepat dan, yang paling penting, budaya berjuang untuk memahami perlunya penggunaan data.

Cara yang tepat untuk rebound

Pada April 2020, Satya Nadella berkata: “kami telah melihat dua tahun transformasi digital hanya dalam dua bulan.”

Sekarang ada new normal dalam cara orang bepergian, bekerja, dan berbelanja. Organisasi harus merespons dengan cepat, menjadi lebih efisien, lebih gesit, dan lebih mudah beradaptasi.

Prinsip di balik transformasi digital Microsoft dapat menjadi dasar untuk proyek serupa di organisasi mana pun. Dengan menjadi bisnis yang didorong oleh data dan AI – organisasi yang belajar dan berkembang – perusahaan dapat membangun ketahanan yang mereka butuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan.

Layanan Konsultasi Microsoft dapat membantu para pemimpin bisnis menggunakan momen ini sebagai pemicu untuk bertransformasi, mengubah posisi organisasi mereka untuk era yang lebih kompetitif. Di masa depan, perubahan akan datang jauh lebih cepat. Untuk berkembang, setiap orang harus beradaptasi.