Sebuah Perjalanan Orang Tua yang Dimulai Dengan Empati dan Allyship dari Sesama Karyawan

 |   Microsoft Indonesia

Juliana Cen

Juliana Cen Menemukan Dukungan dari Rekan Kerjanya Ketika Mencari Sekolah untuk Anak Kembarnya

 

Juliana Cen telah berminggu-minggu mencari fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak kembarnya yang berusia 5 tahun, Allen dan Darren. Proses ini tidak mudah karena kedua putranya di diagnosa dengan gangguan sensori atau sensory processing disorder (SPD).

Juliana merelakan waktu akhir pekannya dan mengambil cuti ekstra untuk mengunjungi beberapa fasilitas prasekolah di Jakarta. Namun tidak satu pun menawarkan program yang dibutuhkan putranya. Seperti di banyak bagian dunia lainnya, terdapat kesenjangan dalam sistem pendidikan yang menyebabkan sekolah tidak bisa memberikan dukungan bagi anak dengan kebutuhan khusus.

Dia semakin khawatir seiring pencariannya fasilitas prasekolah yang cocok terus berlanjut. “Saya mengkhawatirkan masa depan mereka,” katanya tentang putra-putranya yang lahir prematur. “Jika saya dipanggil Tuhan lebih dulu, apakah anak-anak saya bisa menjaga diri sendiri? Itu adalah kekhawatiran terbesar saya.”

Sementara itu, di tempat kerja, Juliana belum memberi tahu rekan-rekannya bahwa putranya menderita SPD. Dia menahan diri untuk tidak membicarakannya dan tidak pernah membawa putranya ke acara keluarga di kantor untuk menghindari pertanyaan tentang perilaku mereka.

Juliana tenggelam dalam perilaku “menutupi” – yaitu ketika seseorang, secara sadar atau tidak sadar, menyembunyikan sebagian dari identitas mereka. Mereka tidak ingin dipandang sebelah mata karena kondisi yang mereka alami.

Kekhawatiran Juliana yang terus-menerus menyebabkan ia kesulitan tidur dan mengalami stres. Akhirnya, dia tidak dapat membendung lagi perasaannya dan mengutarakannya. Suatu hari emosinya meledak dan dia menangis di kantor Microsoft Indonesia.

Ketika akhirnya dia menceritakan masalahnya, dia mendapati rekan-rekannya berempati dan memberi semangat, membuat perjalanannya menemukan fasilitas prasekolah yang tepat lebih mudah. Allyship mereka yang berkelanjutan membantunya memenuhi kebutuhan anak-anaknya dengan lebih baik.

Tentang Juliana
Juliana lahir dari keluarga etnis Tionghoa di Pematang Siantar, kota kecil di provinsi Sumatera. Dia diharapkan untuk merawat orang tuanya dan bekerja di bisnis keluarga, tetapi Juliana menginginkan karir di bidang teknologi.

Awalnya, keluarganya melarang dia meninggalkan rumah untuk mengejar pendidikan. Namun akhirnya, ibu dan bibinya mendukungnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan mengejar mimpinya. Dia memperoleh beasiswa penuh dan mempertahankan IPK 4.0 selama di universitas. Setelah lulus, dia pindah ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan perangkat IT.

Anak kembarnya lahir pada tahun 2015. Dua tahun kemudian, dia bergabung dengan Microsoft Indonesia, di ia sekarang menjabat sebagai senior partner development manager (PDM).

Seiring berjalannya waktu, ia memperhatikan bahwa putra-putranya sering berjalan berjinjit, mengulangi pertanyaan alih-alih menjawabnya, dan mengalami kesulitan dalam berbicara. Mereka segera didiagnosis menderita SPD.

Budaya keberagaman dan inklusi

Linda Dwiyanti, manajer Juliana, mendukungnya dengan penuh. Dia mengatakan budaya keragaman dan inklusi Microsoft mendorong persekutuan (allyship), yaitu cara membuat keputusan untuk memahami, berempati, dan bertindak untuk mendukung orang lain dengan cara yang mereka inginkan.

“Persekutuan (Allyship) adalah saat Anda menggunakan empati untuk memahami apa yang dipikirkan orang lain dan tantangan yang mereka hadapi,” kata Linda. “Benar-benar menempatkan diri Anda pada posisi orang lain dan dengan sukarela mencoba membantu serta menawarkan dukungan yang mereka butuhkan.”

Membangun budaya yang mendorong allyship membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang dan dukungan dari semua tingkat di perusahaan. Memiliki budaya yang tepat dapat menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang kuat dan dapat diandalkan.

“Tidak peduli seberapa hebat sebuah perusahaan, seberapa kuat finansial atau seberapa baik strateginya – jika perusahaan tidak memiliki budaya yang tepat, maka tidak akan berhasil atau berkelanjutan,” kata Linda.

Baginya, kepemimpinan tidak hanya berarti mencapai tujuan tetapi juga mampu melatih anggota tim, menunjukkan bahwa Anda peduli padanya, dan mencontohkan perilaku yang benar.

Belajar dari orang lain

Juliana menghargai allyship dari manajer dan koleganya. Dia akhirnya menemukan sebuah prasekolah yang memiliki program untuk mendukung putranya. Dia juga mendaftarkan si kembar untuk terapi bicara dan integrasi sensorik. Biayanya mahal, tetapi tim SDM Microsoft Indonesia membantunya menangani klaim asuransinya dan menyesuaikan kesibukannya.

“Saya didorong untuk lebih terbuka dengan kolega saya dan menjelaskan bahwa saya harus meninggalkan kantor pada pukul 5 sore agar saya bisa berkonsultasi dengan terapis anak-anak saya,” kenangnya.

Juliana juga bergabung dengan forum diskusi dukungan online Microsoft bagi karyawan dengan kondisi neurodiverse. Dia melihat berapa banyak dari mereka yang telah tumbuh dan memegang posisi penting di perusahaan di seluruh dunia.

“Mereka adalah bukti bahwa orang-orang dengan neurodiverse, termasuk individu dengan SPD, dapat bekerja dan berkembang di Microsoft. Itu tidak terjadi di setiap perusahaan,” katanya.

Juliana sekarang menjaga keseimbangan kehidupan kerja yang sehat dan mencoba untuk istirahat di malam hari untuk memiliki waktu berkualitas bersama keluarganya.

“Di perusahaan saya sebelumnya, kami hanya berbicara tentang pekerjaan. Saya telah belajar banyak di Microsoft tentang soft skills, termasuk tentang allyship,” katanya.

“Menurut saya ini sangat penting, dan saya bersyukur bahwa Microsoft mempromosikan inklusi dan persekutuan (allyship) karena hal itu membantu menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi orang-orang untuk berbicara dan saling peduli. Ini membantu memperkuat tim dan menciptakan hasil yang lebih baik.”

Pandemi dan maknanya

Banyak dari kita sekarang bekerja dari jarak jauh selama pandemi ini. Tanpa harus bolak-balik pulang pergi setiap hari, Juliana punya lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama keluarganya.

“Waktu saya di rumah telah membantu meningkatkan kemampuan berbicara Darren,” kata Juliana. “Kedua anak saya merasa orang tua mereka sekarang sering ada di rumah karena kami dapat lebih banyak berbicara dengan mereka. Sebelum pandemi, saya berangkat kerja jam 6.30 pagi dan pulang ke rumah jam 8.30 malam. Setelah itu, saya terlalu lelah dan langsung tidur, tapi sekarang saya bisa sarapan dengan ibu saya dan makan siang dengan anak-anak setiap hari.”

Sayangnya, ada juga beberapa kekurangan yang dialami. Pandemi telah menutup sementara klinik terapi untuk anak dengan SPD. Dan pendidikan online bisa jadi lebih menantang bagi beberapa anak yang sulit duduk di depan layar komputer selama berjam-jam.

“Di sekolah, anak-anak bisa bermain dengan teman-temannya,” kata Juliana. “Bahkan di akhir pekan, anak saya ingin memakai seragam sekolahnya. Dia mungkin bertanya-tanya mengapa dia tidak bisa bertemu dengan teman-temannya, tapi dia kesulitan mengekspresikan dirinya.”

Juliana tetap berpikiran positif. Dia yakin bahwa ketika waktunya tiba bagi putranya untuk pergi ke sekolah dasar, dia akan menemukan sekolah yang akan mendukung mereka.

“Saya ingin menunjukkan kekuatan mereka,” katanya. “Saya ingin orang tahu bahwa anak-anak dengan keterbatasan neurodiverse juga memiliki kekuatan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak-anak lain.”

Dalam beberapa bulan terakhir kedua anak laki-laki tersebut telah mengekspresikan diri mereka dengan lebih banyak menggambar.

Saat Juliana melihat-lihat karya seni terbaru mereka, dia teringat akan teman-temannya penyandang neurodiverse di Microsoft. Mereka telah menjadi sumber harapan baginya – pengingat terus-menerus bahwa siapa pun, termasuk kedua putranya, dapat berkembang dan mencapai impian mereka.