Memikirkan Ulang Konsep Wellbeing: Pendekatan terhadap Tenaga Kerja di Indonesia

 |   Deni Yudi Syahputra, Human Resources Lead, Microsoft Indonesia & Southeast Asia Emerging Countries

Tahun 2021 sudah hampir selesai dan banyak yang merasa tahun ini berlalu dengan begitu cepat – bahkan lebih cepat dibandingkan 2020. Dengan segala perubahan model kerja yang terjadi selama hampir dua tahun terakhir, menjadi penting bagi pemimpin bisnis untuk mengkaji ulang konsep wellbeing karyawan. Membantu mereka untuk semakin tumbuh dan berkembang di era saat ini.

Sejak sebelum pandemi COVID-19, banyak bisnis sudah mulai mengucapkan mantra “karyawan kami adalah aset terpenting perusahaan”. Sayangnya, masih ada banyak bukti kelelahan, kecemasan, dan stres terkait pekerjaan yang dialami karyawan, serta perasaan bahwa para pemimpin gagal menyadari kebutuhan tenaga kerja mereka.

Pandemi pun kian memperburuk tren ini. Survei Work Trend Index (WTI) Microsoft yang mengolah data dari 30.000 orang di 31 negara mengungkapkan bagaimana COVID-19 memengaruhi wellbeing di tempat kerja. Secara khusus di Indonesia, survei menemukan 61% responden merasa beban kerja mereka terlalu besar.

Survei tersebut juga mengungkapkan adanya perbedaan besar antara respons manajer dan pekerja. Saat para pemimpin bisnis merasa mereka berada dalam keadaan baik, di sisi lain pekerja yang lebih muda, karyawan baru, pekerja garis depan, dan karyawan lajang justru merasa kesulitan (lihat grafik).

Survei WTI dilakukan oleh perusahaan riset independen, Edelman Data & Intelligence, kepada 31.092 pekerja penuh waktu atau wiraswasta di 31 negara selama 12 hingga 25 Januari 2021.

Pekerja muda menjadi kelompok pekerja yang paling rentan. Secara global, responden Gen Z (umumnya didefinisikan sebagai mereka yang lahir antara tahun 1996 dan awal 2010-an) cenderung lebih kesulitan mencapai work-life balance dan merasa lebih mudah lelah setelah seharian bekerja jika dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua. Tren yang sama dapat dilihat di Indonesia, di mana 68% responden Gen Z mengatakan mereka kesulitan berjuang atau bertahan saat ini, dibandingkan dengan rata-rata global 60% Gen Z yang merasakan hal serupa.

Hal ini mengindikasikan bagaimana kita perlu memberikan perhatian yang lebih besar terhadap Gen Z. Mereka adalah masa depan dunia kerja yang cepat atau lambat akan menjadi pemimpin. Dengan mereka kini tengah memasuki tahap pertama dunia kerja, kita perlu membantu mereka untuk merasa lebih dekat dengan organisasi yang mereka masuki. Beberapa area yang bisa pemimpin fokuskan misalnya kemajuan karier, pengembangan kreativitas, menghilangkan perasaan terisolasi, dan meningkatkan motivasi di lingkungan kerja.

Perbedaan dinamika wellbeing tenaga kerja pun tidak hanya terjadi dari segi kelompok usia, tetapi juga dari segi geografis. Karyawan di kawasan Asia yang bekerja untuk perusahaan multinasional menghadapi tekanan khusus, seperti jam kerja dan jarak yang jauh dari kantor pusat. Mereka sering diminta untuk berpartisipasi dalam panggilan konferensi malam hari saat mereka bekerja untuk perusahaan Eropa atau Amerika.

Namun, membatasi jam kerja, sebuah upaya peningkatan wellbeing yang umum dilakukan di negara-negara Barat, bisa jadi bukanlah solusi yang tepat untuk kawasan Asia, termasuk Indonesia—terutama bagi pekerja muda yang cenderung tinggal bersama keluarga besar mereka. Kerap kali mereka ingin datang ke kantor karena bisa bertemu dengan teman-teman mereka.

Menyambut tahun 2022 yang akan datang, menjadi waktu yang tepat bagi organisasi dan pemimpin bisnis untuk menata ulang strategi pengelolaan sumber daya manusia, agar dapat membantu menjaga wellbeing karyawan.

Bagaimana membantu menjaga wellbeing karyawan di Indonesia?

Sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan dan kerentanan yang dihadapi oleh berbagai kelompok karyawan, Microsoft telah mengintegrasikan inklusi serta keragaman ke dalam bentuk pendekatan manajemen “model, coach, care”.

Bagi Microsoft, membangun budaya yang inklusif berarti turut membangun berbagai peluang pertumbuhan, membentuk ruang kerja kolaboratif, serta meninjau dinamika tim secara aktif. Sejalan dengan reformasi global yang diinisiasi oleh Microsoft, terdapat sejumlah inisiatif yang menjadi bagian dari strategi pengelolaan sumber daya manusia di Microsoft:

  • Memberikan tambahan lima hari wellbeing di luar cuti tahunan karyawan
  • Menyelenggarakan webinar dan lokakarya virtual yang dapat mendukung wellbeing karyawan
  • Menawarkan konseling privat yang bersifat konfidensial bersama pihak ketiga
  • Memberikan program wellbeing yang dipersonalisasi untuk staf dan keluarga, seperti dengan menyesuaikan praktik kerja: jam kerja fleksibel, mempersingkat dan mengurangi frekuensi rapat dalam rangka memberi staf waktu istirahat serta kesempatan untuk fokus, dsb.

Inisiatif-inisiatif ini juga telah diimplementasikan oleh Microsoft Indonesia, dengan sejumlah insiatif tambahan seperti:

  • Menetapkan Wellbeing Day Microsoft Indonesia, di mana perusahaan mendorong seluruh karyawan untuk mengambil wellbeing leave secara kolektif pada satu hari tertentu sesuai rekomendasi perusahaan. Hal ini dilakukan setelah perusahaan menyadari bahwa sejumlah staf mengalami kesulitan untuk menetapkan cuti karena kesulitan mengelola pekerjaan mereka.
  • Melakukan aktivitas kelompok bersifat non-pekerjaan secara virtual, seperti virtual yoga/olahraga, virtual painting class, virtual lunch team, dan virtual coffee-chat. Aktivitas-aktivitas seperti ini penting untuk meningkatkan rasa kebersamaan antar karyawan, di mana mereka dapat beraktivitas sambil mengobrol mengenai keseharian masing-masing. Hal ini pun dapat memperbaiki efektivitas tim.
  • Menawarkan fleksibilitas untuk bekerja secara hybrid.

Kebijakan mengenai wellbeing ini dapat berjalan efektif ketika telah disesuaikan dengan kebutuhan dari kelompok-kelompok yang berbeda. Sebagai contoh, dengan Milenial dan Gen Z selaku kelompok generasi dengan tantangan kesehatan mental yang lebih serius, kebijakan harus meliputi pesan yang disesuaikan dengan bagaimana mereka memandang isu kesehatan mental. Kelompok usia ini kurang menyukai pendekatan psikiatri yang fokus pada konseling dan terapi. Mereka lebih menginginkan kebebasan berekspresi dan berinteraksi. Untuk itu, aktivitas kelompok virtual yang tidak melibatkan pekerjaan penting dilakukan.

Para pemimpin bisnis di Indonesia juga perlu mengatasi kesenjangan wellbeing antara manajemen dan pekerja lainnya yang lebih luas. Jika tidak, para pemimpin bisnis tersebut bisa jadi akan kesulitan dalam mempertahankan pekerja mereka, terutama ketika tren kerja secara remote atau jarak jauh telah membuka peluang baru untuk mencari pekerjaan di tempat lain dengan lebih mudah. Pendapat ini sejalan dengan hasil survei Microsoft; sebanyak 49 persen responden di Indonesia mengatakan bahwa mereka kemungkinan akan mempertimbangkan meninggalkan perusahaan tempat mereka bekerja dalam satu tahun ini. Selain itu, sebagian besar responden yang menyatakan pernyataan tersebut merupakan bagian dari kelompok Generasi Z, yakni sebanyak 57 persen.

Peluang dan dukungan teknologi

Kabar baiknya, sebanyak 83% responden Indonesia yang berpartisipasi dalam WTI menginginkan opsi kerja remote atau jarak jauh ini untuk tetap ada. Sebanyak 47% pekerja juga merasa dapat lebih menjadi diri mereka sendiri dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Selain itu, hanya 12% responden dari Indonesia yang merasa pemilik usaha tempat mereka bekerja tidak peduli dengan keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance). Artinya, banyak perusahaan di Indonesia sudah menunjukkan perhatian besar terhadap aspek ini. Sebanyak 72% pemimpin bisnis di Indonesia yang tergabung di dalam survei WTI juga mengatakan sangat mungkin untuk mendesain ulang tempat kerja agar dapat mendukung hybrid work yang diminati talenta kerja.

Dalam rangka mendorong wellbeing karyawan, platform teknologi dapat menjadi solusi yang membantu para pemimpin bisnis untuk memahami, memantau, dan mendukung kesejahteraan karyawan mereka dengan lebih baik. Microsoft Viva misalnya, adalah platform employee engagement yang menyatukan pengetahuan, pembelajaran, sumber daya, dan wawasan untuk membantu para pekerja berkembang di lingkungan hybrid. Platform ini meliputi entry point bagi karyawan untuk mengakses banyak manfaat dari kehidupan perkantoran, seperti pertemuan town hall, kelompok, serta klub karyawan. Terdapat pula insight tools yang dapat membantu karyawan mengatur waktu dan menangani stres, seperti melalui aplikasi meditasi “Headspace”. Viva juga memberikan akses khusus terhadap pelatihan dan konten pembelajaran mikro yang mudah ditemukan, lengkap dengan rekomendasi pembelajaran dan pengembangan yang didorong oleh kecerdasan buatan, sehingga dapat membantu proses perkembangan dan pembelajaran para karyawan.

Tenaga kerja di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, saat ini berpotensi besar mengalami kelelahan digital dan burnout. Namun, hal ini dapat diatasi apabila pemimpin bisnis memerhatikan dan menyusun strategi besar yang dapat mendukung keseluruhan pengalaman karyawan. Empati akan menjadi kunci, dengan pemimpin meluangkan lebih banyak waktu untuk memahami karyawan, serta berinteraksi dengan karyawan secara lebih personal. Untuk mengetahui lima strategi mengenai bagaimana pemimpin bisnis dapat mulai melakukan perubahan, kunjungi tautan berikut.

Mari kita bahu membahu, menciptakan lingkungan kerja hybrid yang dapat mendukung perkembangan talenta kerja Indonesia!

###