Teknologi mengubah seni berdiplomasi – melampaui cangkir kopi dan koridor, menuju dunia pasca-pandemi

 |   Susanna Ray

Read the English version here.

Kehidupan diplomat dapat diukur melalui cangkir kopi dan koridor.

Sebelum momen kesepakatan besar dibuat dan konferensi dunia mengumumkan perjanjian internasional, sebagian besar tugas diplomat dikerjakan selama waktu istirahat dengan secangkir kopi, atau di lorong menjelang pertemuan berikutnya. Ini merupakan bentuk dunia secara fisik dan tatap muka bagi mereka yang mewakili kepentingan negaranya di luar negeri. Karena itu, saat perjalanan terhenti karena pandemi merebak di awal 2020, anggota diplomatik global mengalami kebingungan.

Namun, fleksibilitas dan kompromi menjadi kunci utama dalam diplomasi yang baik. Dalam setahun, sebagian besar diplomat telah beradaptasi dan menyadari kekuatan diplomasi digital dengan pendekatan hybrid, termasuk pertemuan dan konferensi video. Hal ini disampaikan oleh Corneliu Bjola, Profesor Ilmu Diplomasi Universitas Oxford yang baru-baru ini melakukan survei staf layanan asing di seluruh dunia. Saat ini, ungkap Bjola, sebagian besar orang tidak ingin kembali ke cara lama sebelum pandemi.

“Kebiasaan tabu telah ditinggalkan,” ujar Bjola, “dan diplomasi hybrid akan tetap digunakan.”

Corneliu Bjola, Profesor Ilmu Diplomasi Universitas Oxford (Foto disediakan oleh Bjola)

Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik, atau dikenal sebagai APEC, adalah contoh utama bagaimana pemimpin dunia, diplomat, CEO, dan staf pendukung menyelenggarakan semua pertemuan dan konferensi mereka secara virtual selama tahun 2021.

Forum ini terdiri dari 21 negara anggota yang mengelilingi Samudra Pasifik. Masing-masing negara secara bergiliran menjadi penyelenggara forum setiap tahunnya – dengan ratusan pertemuan triwulanan yang juga terus diselenggarakan. Semua ini dilakukan untuk mempromosikan perdagangan bebas yang sehat dan terbuka di wilayah dengan 2,8 miliar jiwa ini. Pertemuan tersebut berjalan dengan baik di Malaysia pada tahun 2020 saat pandemi global melanda dan setiap negara harus memberlakukan lockdown. Selandia Baru kemudian berada di posisi unik untuk memfinalisasi rencana jangka panjang dan menyambut 20.000 peserta APEC sepanjang 2021. Terlebih mengingat bagaimana Selandia Baru menjadi salah satu negara pulau yang menutup perbatasannya dengan respons pandemi paling agresif di dunia.

Ini adalah kesempatan sempurna untuk memanfaatkan teknologi.

“Saya sangat terkesan dengan keputusan Selandia Baru pada tahun 2020 untuk beralih ke virtual di tahun 2021, meskipun keputusan tersebut pada akhirnya dapat diprediksi,” ungkap Dr. Rebecca Sta Maria, Direktur Eksekutif Sekretariat APEC, yang berpusat di Singapura. “Kita tidak bisa bepergian, namun kita masih bisa bertemu. Jika kita tidak memiliki akses ke teknologi, hampir mustahil bagi APEC untuk terus berlanjut.”

Melalui kemitraan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru dengan penyedia layanan telekomunikasi dan digital Spark Business Group, platform khusus berbasis Microsoft Teams dikembangkan agar pertemuan kelompok ini dapat dilakukan sepanjang tahun. Selanjutnya, mereka kembali memilih Teams untuk menyelenggarakan konferensi besar CEO selama dua hari pada bulan November, setelah melihat bagaimana Microsoft stack dapat ditingkatkan menggunakan Azure ketika menangani Consumer Electronics Show (CES) dan acara besar lainnya. Acara-acara ini memerlukan keamanan ekstra untuk pembicaraan sensitif di antara para pemimpin dunia.

Salah satu manfaat menjadi tuan rumah penyelenggaraan APEC mencakup mempromosikan budaya ekonomi lokal. Selandia Baru, yang hanya berpenduduk lebih dari 5 juta jiwa dan menjadi salah satu ekonomi terkecil di APEC, mengandalkan peningkatan dari masuknya ribuan delegasi dalam jumlah besar. Saat mengadopsi format virtual, tim perencanaan begitu sigap bergerak menyambut delegasi dengan menayangkan video dari seluruh Selandia Baru selama sesi pengarahan sebelum pertemuan, ataupun saat waktu istirahat, disertai lagu dari musisi lokal. Petugas membantu delegasi mengelola suara, latar belakang, dan pengaturan posisi mereka di layar. Dalam konferensi CEO, tim mengalihkan presentasi jenis teater ke produksi gaya televisi, dengan pembawa acara memandu pertemuan dan menyediakan transisi yang lancar di antara para pembicara. Termasuk di antaranya mengenakan gaun tradisional Māori dan memberikan sambutan dalam bahasa Māori.

Dan ternyata, banyak tanggapan positif tentang diplomasi digital.

Satu hal yang pasti, pemimpin pemerintahan dan eksekutif bisnis dapat menghadiri pertemuan di Wellington, New York, dan Jenewa pada hari yang sama secara virtual, tanpa mengalami jet lag atau mengeluarkan karbon dioksida agar dapat ke sana.

Dr. Rebecca Sta Maria, Direktur Eksekutif Sekretariat APEC, yang berbasis di Singapura (Foto disediakan oleh APEC)

“Kita tidak perlu lagi terbang selama 24 jam untuk menghadiri pertemuan tiga hari,” ujar Sta Maria, menambahkan bahwa ia juga dapat mempertahankan organisasinya menjadi lebih baik di 2021 dengan menjalankan video feed di latar belakang. “Ada beberapa pertemuan yang tidak memerlukan partisipasi saya, sehingga saya hanya harus mendengarkan untuk mengetahui diskusi pertemuan tersebut. Saya dapat menaruh kopi di samping atau duduk di rumah merencanakan hari, menulis konsep, memikirkan banyak hal, namun juga dapat mengikuti diskusi tersebut. Jika Anda harus hadir secara langsung, Anda tidak dapat melakukan hal-hal tersebut, atau Anda tidak akan dapat pergi sama sekali.”

Pertemuan online juga memungkinkan diplomat mendapatkan akses lebih luas ke pakar selama proses negosiasi. Pertemuan dapat menjadi rumit ketika tim perlu menjadwalkan perjalanan jauh dengan rombongan pakar yang besar, namun mudah untuk melibatkan seseorang dalam pertemuan di Teams.

Diplomasi digital telah menjadi keuntungan untuk negara kecil dan berkembang pada umumnya, tempat mereka dapat menggunakan alat bantu teknologi untuk “menjadi yang teratas” pada skala global, tanpa kendala biaya perjalanan, ujar Bjola.

“Apa yang semua orang alami di tahun 2020 adalah peningkatan dalam pencapaian,” ujar Marc Perez, pemimpin global bidang acara virtual di Microsoft. Hal ini pun benar untuk perusahaannya.

Pada 2019 sebelum pandemi, terdapat pengaturan rekaman untuk 6.200 peserta di  Build, konferensi tahunan Microsoft bagi teknisi dan pengembang perangkat lunak, termasuk 28 dari Afrika. Namun, saat acara menjadi virtual tahun 2020, acara tersebut menarik perhatian 193.000 peserta aktif – dengan 6.244 dari Afrika.

Demokratisasi digital juga dapat disaksikan selama satu setengah tahun ini, dengan adanya partisipasi dari pemilik bisnis kecil, wanita, pemuda, pakar, dan pihak lainnya yang selama ini mungkin tersingkir atau tidak akan hadir. Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, memastikan bahwa giliran tak biasa negaranya sebagai tuan rumah akan menyediakan lebih banyak keadilan dalam perjanjian, ujar Perez, dan akan mencakup komunitas yang mungkin tidak mampu mengirim seluruh rombongan pada penerbangan panjang ke Pasifik Selatan.

Terlepas dari tradisi diplomasi, pertemuan secara virtual sebenarnya menawarkan beberapa keuntungan dibanding perkumpulan langsung, kata Monica Hardy Whaley, Presiden Pusat Nasional untuk APEC, organisasi di Seattle yang menghubungkan pejabat APEC dan perusahaan swasta di A.S.

Monica Hardy Whaley, Presiden Pusat Nasional untuk APEC, organisasi di Seattle yang menghubungkan pejabat APEC dan perusahaan swasta di A.S. (Foto disediakan oleh Hardy Whaley)

“Jauh lebih mudah bagi seorang eksekutif senior atau pembicara bernama besar untuk bergabung di Teams dalam 20 menit dan berpartisipasi dalam panel, daripada meminta mereka berangkat selama beberapa hari ke suatu tempat seperti Arequipa, Peru, misalnya,” ujar Hardy Whaley. “Itulah satu hal positif yang telah APEC lihat sepanjang tahun ini. Kualitas saran dan masukan ahli juga meningkat dan berkembang karena adanya kemampuan teknologi untuk meminta pendapat seseorang yang pada umumnya tidak dapat hadir di pertemuan.”

Pastinya, tidak semua hal berjalan baik dengan diplomasi digital.

“Negosiasi sangat sulit, meskipun Anda melakukannya secara langsung dan dalam suasana terbaik. Di sini, kami mencoba untuk membuat pernyataan dan deklarasi yang melintasi sembilan zona waktu di lingkungan virtual,” ujar Sta Maria. Tindakan APEC berdasarkan kesepakatan umum dan tidak terikat, “jadi ini semua tentang kepercayaan dan hubungan yang Anda bangun,” ujar Sta Maria.

‘Obrolan koridor’ informal tersebutlah yang telah terkena dampak selama pandemi, ujar Bjola. Terutama saat staf dukungan berusaha mengatur beberapa perjanjian, menjadi sulit mengetahui apakah ada orang lain di luar pertemuan yang mendengarkan, sehingga penjagaan harus lebih ditingkatkan daripada biasanya.

Pertemuan Pemimpin APEC adalah puncak aktivitas di mana New Zealand menjadi tuan rumah pada tahun 2021. Acara dipimpin oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern dan mempertemukan pemimpin dari 21 negara anggota. (Foto disediakan oleh APEC New Zealand)

Kepercayaan merupakan aspek krusial dalam diplomasi, dan hal ini adalah sesuatu yang sulit dibangun melalui video. Diplomat harus mengenal rekan mereka dengan baik agar memahami motivasi dan tujuan mereka untuk membantu dalam solusi kreatif, hingga perbedaan pendapat. Mereka diajarkan untuk membaca ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan perilaku. Bagi mereka yang saling mengenal sebelum pandemi, akan mudah melanjutkan hubungan secara online daripada mereka yang baru saja memulai, mencoba melakukan semua itu tanpa berkesempatan membentuk hubungan dengan lelucon atau jamuan sebelum negosiasi dimulai, ujar Bjola.

Terdapat kesalahan umum dalam diplomasi internasional yang diketahui oleh semua orang. Misalnya, perdana menteri harus memberitahu presiden “Mikrofon Anda mati” selama satu konferensi, dan petugas membantu pemimpin dunia menyesuaikan kamera, sehingga arah fokus kamera tidak terarah ke hal lain. Namun, diplomasi digital mengambil langkah lebih jauh, dengan kepentingan untuk forum seperti APEC memastikan tidak ada siapapun yang latar belakangnya lebih terang dari yang lain, semua kepala negara memiliki ukuran kepala yang sama, dan penerjemah lisan memilih tampilan besar yang cukup untuk menerjemahkan secara efektif.

Sifat unik diplomasi internasional membuat tim harus berpikir dan berinovasi secara berbeda, ujar Bjola. Ini bukan tentang menciptakan pengalaman mencolok dengan stan perdagangan virtual 3D dan semacamnya, namun berfokus secara lebih terbuka pada pengalaman manusia, kata Bjola.

“Orang-orang yang memimpin pemerintahan sedang mengelola dan memimpin kemanusiaan,” ujar Perez, “dan itu adalah perubahan terbesar bagi saya, bahwa saya tidak menampilkan produk di sini, saya memfasilitasi kesempatan untuk memengaruhi dan dipengaruhi.”

Konferensi global berbicara banyak tentang simbolisme – melihat siapa yang hadir dengan jenis rombongan seperti apa untuk memproyeksikan kekuatan apa. Dengan pertemuan video Teams, simbolisme tersebut hilang, karena semua orang hadir dengan ukuran kotak yang sama di layar. Meski begitu, pemimpin dunia menjadi lebih kreatif dalam cara mereka menampilkan diri di kotak tersebut dalam beberapa pertemuan, ujar Bjola. Misalnya, mereka muncul dengan latar belakang berpenampilan pemerintahan beserta sekelompok ajudan di belakang mereka, atau sendiri dengan penampilan sederhana, mencari kontrol proyek dan otonomi.

APEC CEO Summit 2021, sebuah pertemuan antara pemimpin bisnis dan pemerintahan di kawasan Asia Pasifik, diselenggarakan secara daring dengan menggunakan platform Teams yang dikustomisasi. (Foto disediakan oleh APEC New Zealand)

Satu hal yang jelas, Bjola berkata: Pandemi telah mengacak susunan diplomatik dan memasukkan perusahaan teknologi sebagai aktor baru. Diplomat yang terbiasa mengontrol semua tentang lingkungan negosiasi, sekarang dipaksa untuk menggunakan platform yang disediakan dan memiliki sedikit pilihan untuk menyesuaikannya. Menyadari peran baru yang teknologi hadirkan dalam tugas diplomatik mereka, saat ini terdapat sekitar 20 duta besar teknologi yang ikut serta dengan Silicon Valley mewakili kementerian luar negeri di seluruh dunia, ujar Bjola.

“Respons terprediksi” terhadap pandemi saat ini bergerak menuju arus bisnis, ujar Perez, mentransisi konsep live streaming acara menjadi mengembangkan pengalaman berkesan, inovatif, dan berkelanjutan yang menyediakan feedback serta perjanjian dengan pembicara dan host.

“Kami beradaptasi dengan teknologi, dan teknologi akan berkembang untuk membantu kami,” ujar Sta Maria. Terlepas dari situasi pandemi yang naik turun, ujar Sta Maria, “Virtual dalam berbagai format akan tetap di sini”.

***