Aku, Kamu, dan DI&A (Diversity, Inclusion, dan Allyship) = Kita!

 |   Krishna Worotikan, CFO and DI&A Lead, Microsoft Indonesia

Ketimpangan telah ada selama bertahun-tahun, tetapi dua tahun pandemi mempertajam sejumlah ketimpangan yang ada. Perempuan, generasi muda, minoritas, dan pekerja dengan keterampilan minimum misalnya, menjadi kelompok yang lebih rentan terkena dampak kehilangan pekerjaan serta pendapatan akibat pandemi.

Untuk mengatasi hal tersebut, kita perlu berinvestasi dalam pengembangan inklusif yang berkelanjutan — baik itu melalui peningkatan keterampilan, mencoba hal baru, atau menjadi ally (rekanan) bagi orang-orang di lingkungan kerja kita. Hal ini menjadi penting karena hanya dengan keterlibatan masing-masing dari kita, konsep lingkungan kerja yang betul-betul inklusif dapat menjadi lumrah dikenal. Ketika kita sudah banyak menjumpai dan melibatkan perempuan serta penyandang disabilitas di tempat kerja misalnya, maka mereka tidak lagi menjadi kelompok minoritas. Setiap individu, terlepas dari latar belakang, kelebihan, dan kekurangan mereka, akan memiliki kesempatan serta mendapatkan perlakukan yang sama dalam bekerja.

Berangkat dari sini, saya pun mulai memimpin inisiatif Diversity, Inclusion, dan Allyship (DI&A / Keberagaman, Penyertaan, dan Rekanan) di Microsoft Indonesia sejak Desember 2021 lalu. Dalam menjalankan peran tersebut, saya memberikan komitmen dan fokus yang sama seperti yang saya berikan pada posisi saya sebagai Chief Financial Officer Microsoft Indonesia.

Saya percaya, kedua posisi ini sama pentingnya karena hanya ketika DI&A berhasil diterapkan, karyawan dapat hadir di tempat kerja dan menjalankan pekerjaan sesuai dengan jati diri mereka yang sebenarnya. Dengan demikian, mereka akan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk menutupi atau mengkhawatirkan identitas mereka, sehingga mampu menghasilkan lebih banyak ide dan bekerja secara produktif.

Hal ini pula lah yang menggerakkan kami di Microsoft Indonesia untuk menyelenggarakan Microsoft Indonesia DI&A Week pertama kami pada Rabu, 18 Mei sampai dengan Kamis, 19 Mei yang lalu. Sebuah acara yang menjadi saksi bagi peresmian kerja sama kami dengan Komisi Nasional Disabilitas di Program Microsoft Enabler, serta kolaborasi kami dengan Binar Academy dan Telkomsel untuk memperkuat kontribusi perempuan bagi pertumbuhan ekonomi digital.

Meruntuhkan hambatan

Kami di Microsoft memiliki keyakinan kuat bahwa untuk mencapai pemulihan ekonomi yang benar-benar inklusif, lebih banyak perempuan harus memperoleh keterampilan digital. Saat ini, jumlah perempuan yang menekuni bidang data dan kecerdasan buatan masih berada di angka 30%; dan angka ini turun menjadi di bawah 20% untuk bidang komputasi awan. Rendahnya partisipasi perempuan sebagai bagian dari tenaga kerja digital hanya akan meminimalisir kemampuan kita untuk menutup kesenjangan keterampilan.

Dan ini bukan hanya tentang kesetaraan. Dari sisi bisnis, bisnis yang memiliki keberagaman gender memiliki performa yang lebih baik. Menurut McKinsey, memajukan kesetaraan gender sejak sekarang dapat menambah US$13 triliun ke dalam PDB global pada tahun 2030 mendatang.

Ini adalah salah satu alasan kami meluncurkan program Code; Without Barriers di Asia Pasifik pada September 2021 lalu, bersama organisasi-organisasi lain yang memiliki pemikiran serupa untuk menutup kesenjangan gender di sektor cloud, AI, dan teknologi digital. Kami sangat senang karena pada 21 April 2022 lalu, tepat pada Hari Kartini, Telkomsel bergabung dalam program ini – menjadikan Telkomsel sebagai perusahaan pertama dari Indonesia yang menjadi mitra Code; Without Barriers.

Sejauh ini, Code; Without Barriers telah mengujicobakan 18 program sertifikasi untuk Women in AI di delapan negara di Asia Pasifik, melatih lebih dari 480 perempuan, dan memberikan sertifikasi bagi 203 developer perempuan. Dan kami masih akan terus melakukan lebih banyak lagi.

Kami melakukan ini karena kami menyadari tanggung jawab kami sebagai pemimpin bisnis untuk memastikan dunia digital dapat mencerminkan keberagaman masyarakat, dan mendapatkan manfaat dari perspektif baru serta inovasi yang lebih besar. Untuk melakukannya, masa depan teknologi harus menjadi masa di mana perempuan tidak hanya diberikan kesempatan yang sama seperti pria, tetapi juga merasa percaya diri dalam mengejar tujuan karier dan mengembangkan bakat mereka.

Keberagaman di tengah keterbatasan

Kontribusi terbesar yang dapat diberikan setiap orang untuk menciptakan dampak sosial positif secara jangka panjang adalah dengan mengembangkan keterampilan, karena ‘mata uang’ untuk dunia pasca pandemi adalah talenta digital (orang dan keterampilan digital). Sayangnya, kesenjangan bagi penyandang disabilitas masih umum kita temui.

Berangkat dari sini, Microsoft telah menemukan cara untuk ikut meningkatkan peluang kerja bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Pada akhir 2020 lalu, kami meluncurkan program Microsoft Enabler untuk meningkatkan keterampilan digital penyandang disabilitas dan kemampuan kerja mereka melalui kolaborasi dengan organisasi nirlaba serta penyedia lapangan kerja di berbagai negara di Asia Pasifik.

Dalam enam bulan sejak peluncurannya, lebih dari 110 penyandang disabilitas berhasil menemukan kecocokkan dengan 65 pekerjaan potensial yang dibutuhkan mitra Microsoft. Hasil ini memacu kami untuk terus membekali penyandang disabilitas dengan keahlian digital yang dapat memberi mereka pijakan kuat di dunia pasca pandemi. Dan kami sangat senang karena dalam DI&A Week pertama kami di Indonesia, kami meresmikan kolaborasi dengan Komisi Nasional Disabilitas untuk menjalankan inisiatif ini di Indonesia!

Langkah kami selanjutnya adalah komitmen lima tahun untuk membantu menjembatani ‘kesenjangan disabilitas’ di seluruh dunia melalui teknologi yang dapat membukakan pintu bagi talenta digital penyandang disabilitas dalam menemukan karier yang berarti.

Perjalanan ini masih panjang. Namun, dengan komitmen yang terarah dan kolaborasi, kita dapat memastikan setiap orang bisa memiliki akses ke tools yang mereka butuhkan untuk menghasilkan perubahan positif di komunitas masing-masing.

Akses ke teknologi yang accessible adalah salah satunya. Teknologi ini dapat membuka pintu peluang yang lebih besar bagi penyandang disabilitas untuk mengatasi hambatan komunikasi, interaksi, dan informasi. Di Microsoft, kami menjalankan komitmen terhadap penyediaan akses ini dengan memastikan produk kami dapat diakses oleh semua orang di seluruh spektrum disabilitas.

Kami melakukan ini, misalnya, dengan menyertakan insights dan feedback dari karyawan penyandang disabilitas, pakar aksesibilitas, pelanggan, dan komunitas disabilitas untuk membangun fitur seperti Immersive Reader bagi penyandang disleksia dan aplikasi SeeingAI bagi tunanetra.

Selain dari sisi teknologi, Microsoft juga secara proaktif merekrut talenta penyandang disabilitas, dengan program perekrutan khusus dan praktik inklusi disabilitas yang kuat, untuk memberdayakan kandidat agar dapat ke tempat kerja sesuai dengan jati diri mereka sendiri dan melakukan apa yang mereka sukai.

Membangun allies 

Untuk terus bergerak maju menuju inklusi yang sesungguhnya, kita membutuhkan rekanan (allies) yang dapat mendukung lingkungan kerja tanpa bias dan dengan menunjukkan empati.

Di Microsoft, kami menggunakan allyship sebagai model dan sarana untuk melakukan refleksi diri. Hal ini dapat membantu kita untuk lebih memahami reaksi emosional kita, dan mendorong kita untuk membangun sistem yang membuat kita bertanggung jawab saat kita berusaha menjadi ally yang efektif, konsisten, dan berkelanjutan.

Adalah tanggung jawab kita sebagai pemimpin industri untuk memformulasikan apa yang akan terjadi selanjutnya; menunjukkan apa yang mungkin terjadi ketika dunia digital mencerminkan keberagaman masyarakat kita. Ketika masyarakat, pemerintah, dan pemimpin industri bersatu–dan diberdayakan oleh teknologi–kita dapat melakukan lebih dari sekadar bangkit kembali.

Mari, kita bangun DI&A sebagai bagian dari budaya organisasi kita. Ini bukan hanya tentang aku, kamu, ataupun dia. Ini tentang kita, Indonesia.

###