Read the English version here
Andriyono, seorang petambak udang, sedang memeriksa sisa pakan di salah satu tambak udang miliknya. Foto oleh Fauzy Chaniago untuk Microsoft.
DESA JATIMALANG, Indonesia – Matahari baru saja terbit. Andriyono, seorang petambak udang, berdiri di jalan setapak yang terbuat dari bambu tipis, di atas salah satu dari 16 tambak miliknya, di pesisir selatan Jawa Tengah.
Dengan seutas tali, ia menarik jaring bundar pipih keluar dari air, bersama dengan puluhan udang yang melompat-lompat. Ia memeriksa apakah masih ada pakan yang tersisa. Setelah dipastikan tidak ada, ia menurunkan kembali jaring tersebut ke dalam air yang gelap.
Sisa pakan dapat mengindikasikan nafsu makan buruk pada udang, yang dapat disebabkan oleh berbagai hal. Mulai dari penyakit, oksigen yang terlalu sedikit di dalam air, hingga kadar pH air yang terlalu tinggi. Residu itu sendiri juga buruk bagi kualitas air, yang dapat menyebabkan berbagai hal buruk lainnya. Jika dibiarkan, residu tersebut dapat menyebabkan udang menjadi sakit atau bahkan mati dalam beberapa hari.
Udang merupakan hewan yang sensitif.
“Jika satu udang terkena virus, seluruh udang di tambak akan mati,” kata Elsa Vinietta, Head of Aquaculture Platform and AI eFishery, sebuah startup di bidang aquatech yang bertujuan memodernisasi akuakultur. Penyakit dapat menyebar ketika seekor burung minum dari satu tambak ke tambak lainnya, atau hanya dengan mengalirkan air dari satu tambak yang terinfeksi ke tambak lainnya.
Namun, ketika sebuah tambak dikelola dengan baik, tingkat kelangsungan hidup udang dapat meningkat dari 60 persen menjadi 90 persen, kata Vinietta.
Baru-baru ini, Andriyono menggunakan asisten AI generatif bernama Mas Ahya untuk membantu menjaga udangnya tetap sehat. Mas merupakan panggilan untuk laki-laki, sementara Ahya adalah gabungan kata ahli dan budidaya. Dapat diakses melalui aplikasi seluler, Mas Ahya merupakan pilot project eFishery untuk meningkatkan akses terhadap keahlian akuakultur menggunakan Microsoft Azure OpenAI Service.
Andriyono beralih karier dari menanam padi ke menambak udang 10 tahun yang lalu. Kini, penghasilannya lima kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Di bulan Februari saja, ia telah mengajukan berbagai pertanyaan dalam Bahasa Jawa kepada Mas Ahya – seperti “Bagaimana kualitas air tambak saya?”, “Bagaimana kondisi planktonnya?”, hingga “Berapa harga udang di pasaran?”
“Sejak menggunakan Mas Ahya, saya tahu bagaimana kualitas air tambak saya setiap detiknya. Saya juga bisa memperkirakan harga dengan lebih baik,” ujar Andriyono, 39 tahun. “Mas Ahya membuat segalanya menjadi lebih cepat.”
Ledakan akuakultur
Setengah dari makanan laut dunia sekarang berasal dari akuakultur, praktik pertanian yang dilakukan di perairan. Dari 178 juta ton makanan laut yang diproduksi secara global pada tahun 2020, 51 persen ditangkap di laut dan danau, dan 49 persen dibudidayakan melalui akuakultur, menurut laporan yang diterbitkan pada tahun 2022 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Indonesia adalah produsen akuakultur terbesar ketiga (tujuh persen dari pangsa global), setelah Tiongkok (35 persen) dan India (delapan persen). Pemerintah Indonesia memiliki target ambisius untuk mengembangkan sektor ini lebih jauh. Namun, seperti halnya di negara lain, degradasi lingkungan menjadi perhatian serius, yang menyebabkan munculnya seruan untuk menggunakan metode budidaya yang lebih berkelanjutan.
eFishery didirikan pada tahun 2013 oleh Gibran Huzaifah, seorang mantan pembudidaya lele yang telah membuat sendiri alat pemberi makan otomatis berbasis Internet of Things (IoT) untuk mengatasi masalah yang sering terjadi, yaitu pemberian pakan ikan yang terkadang lebih atau kurang. Pemberian pakan yang berlebihan akan menghabiskan uang, dan pemberian pakan yang kurang akan menghasilkan ikan berukuran kecil.
eFishery yang berbasis di Bandung ini memiliki misi memodernisasi budidaya ikan dan udang tradisional, meningkatkan hasil panen untuk membantu memenuhi permintaan protein dunia yang terus meningkat. Perusahaan tersebut sekarang melayani 200.000 pembudidaya dan bernilai US$1,4 miliar, setelah mendapatkan pendanaan dari beberapa dana pemerintah dan modal ventura terbesar di kawasan ini.
eFishery bermitra dengan institusi finansial yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk menawarkan pembiayaan untuk pakan dan infrastruktur; pembudidaya membayar setelah panen. Perusahaan juga mengumpulkan data dari berbagai eFeeder otomatis dan alat pemantau kualitas air mereka, dan menyajikannya dalam bentuk grafik di aplikasi seluler eFarm. Untuk menafsirkan grafik tersebut, banyak pembudidaya mengandalkan teknisi akuakultur eFishery yang mengunjungi mereka setidaknya dua kali seminggu untuk menjawab pertanyaan yang mereka miliki.
Tahun lalu, eFishery mulai menggunakan Azure IoT untuk terhubung dan berkomunikasi dengan eFeeders dan alat pemantau kualitas air, mengumpulkan dan menganalisis data secara real time.
Perusahaan juga mengembangkan Mas Ahya menggunakan Azure OpenAI Service sebagai antarmuka AI generatif bagi para pembudidaya untuk mendapatkan data – dan wawasan – berbekalkan keahlian dan praktik terbaik eFishery. Pembudidaya dapat mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban dalam bahasa yang mudah dimengerti, serta mampu memperoleh keahlian ini dalam genggaman tangan mereka kapan saja untuk memaksimalkan produksi.
Kemampuan bahasa lokal Azure OpenAI Service menjadi daya tarik tersendiri – Mas Ahya saat ini tersedia dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris. “Hal ini akan semakin menurunkan hambatan masuk bagi para pembudidaya kami,” kata Andri Yadi, VP AIoT & Cultivation Intelligence eFishery.
“Kapan pun, di mana pun”
Di Desa Paremono, sekitar satu jam perjalanan ke arah barat laut Yogyakarta, Ira Nasihatul Husna membudidayakan ikan nila bersama suaminya. Peternakan mereka adalah satu-satunya peternakan ikan di desa tersebut, dan 10 kolam mereka dikelilingi oleh pohon kelapa serta sawah.
Ikan nila adalah ikan berwarna putih yang digemari karena tidak terlalu bertulang. Ira dan suaminya, Purwanto, menjual ikan yang sudah dibersihkan dan dibuang isi perutnya ke restoran-restoran setempat.
Ia biasa menebar pakan dengan tangan tiga kali sehari, sebuah kalkulasi yang tidak pasti. “Kalau memberi makan terlalu banyak, akan mubazir,” katanya. “Jika terlalu sedikit, hasil panennya tidak maksimal dan kita akan mendapatkan lebih sedikit uang.”
Kolam-kolam tersebut mengambil air dari sungai dan tantangan terbesarnya adalah menjaga kualitas air. Pada musim hujan, misalnya, kadar amonia meningkat dan Ira harus menambahkan suplemen untuk menurunkannya.
Tahun lalu, mereka memasang eFeeder, dan baru-baru ini, alat pemantau kualitas air yang terhubung ke aplikasi eFarm. Pemberian pakan yang lebih tepat dan penyebaran pakan yang lebih merata telah mempersingkat waktu tumbuh ikan, dari anak hingga ukuran pasar, menjadi tiga setengah bulan – dari awalnya empat bulan. Pemberian pakan otomatis juga memungkinkan Ira untuk melakukan hal-hal lain seperti menjemput anaknya dari sekolah.
Pada bulan Februari, Ira mulai mengujicobakan Mas Ahya. Ia sekarang dapat memeriksa kualitas air dan pakan, dan segera mendapatkan solusi jika ada masalah. Dia mengatakan bahwa ini memberinya kemampuan untuk “mengakses informasi kapan saja, di mana saja, di luar jam kerja.”
Satu pertanyaan yang baru-baru ini diajukannya kepada Mas Ahya: Bagaimana cara mengatasi jamur pada ikan nila? Jawaban: Tambahkan kapur tohor – atau kalsium oksida – untuk mengurangi keasaman air. Mas Ahya menyertakan petunjuk dosisnya.
Ira mengatakan bahwa ia ingin memperluas peternakannya, karena permintaan lokal saat ini telah melebihi kemampuannya.
Sedangkan untuk Andriyono, sang petambak udang, ia dan timnya dulunya melakukan pemberian pakan secara manual, empat kali dalam sehari. Sekarang, eFeeder menebarkan pakan secara berkelanjutan sepanjang hari, mulai pukul 6 pagi hingga 6 sore. Udang tumbuh lebih cepat ketika mereka makan dalam jumlah kecil dan sering.
Andriyono biasanya mengirim sampel air ke laboratorium lokal dan menunggu dua hari untuk mengetahui hasilnya. Sekarang, selain memeriksa kelebihan pakan secara manual dengan jaring di pagi hari, ia juga bertanya kepada Mas Ahya tentang kondisi masing-masing tambak.
Mas Ahya memberikan data dari alat pemantau kualitas air, yang meliputi parameter seperti kadar pH, oksigen, temperatur, serta level salinitas, yang memungkinkan pembudidaya dan petambak untuk merespons parameter yang paling mengancam kehidupan di kolam serta tambak secara cepat. Mas Ahya juga mengintegrasikan data laboratorium – lebih dari 100 parameter termasuk bakteri, plankton, dan tingkat amonia – sehingga pembudidaya dan petambak dapat memperoleh analisis mendalam yang dapat menginformasikan praktik-praktik jangka panjang agar lebih berkelanjutan.
Andriyono mengekspor udang dengan ukuran terbesar dan menjual sisanya secara lokal. Sejak menggunakan eFeeder, kata Andriyono, 40 persen udangnya kini diekspor, dibandingkan dengan sebelumnya yang berada di angka 30 persen. Dia merasa Mas Ahya dapat membantu meningkatkan hasil panennya lebih jauh.
“Rencana saya adalah mengekspor semua karena nilainya lebih tinggi,” katanya.
Tujuan keberlanjutan
Tujuan eFishery ke depannya adalah membantu pembudidaya ikan dan petambak udang Indonesia mengadopsi praktik-praktik yang lebih berkelanjutan, dan membantu mereka mendapatkan sertifikasi dari organisasi-organisasi lokal maupun global seperti Best Aquaculture Practices (BAP) dan Seafood Watch yang berbasis di Amerika Serikat.
Mas Ahya juga akan berperan dalam hal ini, memberikan informasi tentang mengapa keberlanjutan itu penting dan bagaimana sertifikasi dapat membuka pasar baru, kata Vinietta. Hal ini termasuk menunjukkan kekurangan dan memberikan petunjuk rinci tentang infrastruktur dan praktik terbaik, seperti mengolah air limbah dari kolam serta tambak sebelum melepaskannya ke lingkungan.
Tim eFishery juga sedang mempertimbangkan untuk menambahkan format gambar, video, dan format-format lainnya di Mas Ahya selain teks sederhana, kemungkinan menggunakan model GPT-4 Turbo with Vision dari Azure OpenAI Service, kata Vinietta.
Fokus pada keberlanjutan dan teknologi membuat akuakultur lebih menarik bagi generasi baru.
“Anak-anak muda ingin bergabung dengan eFishery,” kata Romi Witjaksono, product manager Mas Ahya yang berusia 24 tahun. “Ini adalah titik temu yang bagus di mana IT digabungkan dengan ikan.”
###